Rabu, 16 November 2011

KEKUATAN CENGKERAMAN HEGEMONI EKONOMI AMERIKA SERIKAT

Hegemoni merupakan bentuk kekuatan dominasi yang dijalankan oleh actor yang berkuasa. Salah satu hegemoni yang sangat kuat pengaruhnya adalah hegemoni Amerika diberbagai seluruh dunia, apalagi didukung dengan kemenangan Amerika terhadap Uni soviet semasa perang dingin. Perang dingin merupakan pertikaian persaingan yang terjadi antara dua kekekuatan besar yang berkuasa didunia, yaitu  blok barat yang dimotori oleh Amerika (yang menggunakan paham kapitalisme) dan blok timur yang di motori oleh Uni soviet ( yang menggunakan paham komunis) yang tidak akan pernah bisa disatukan. Hubungan internasional pada kurun waktu sejak berakhirnya Perang Dunia II tidak lepas dari kerangka Perang Dingin. Persaingan yang terjadi diantara dua negara ini telah membuat system internasional tidak menentu karena kedua negara saling mempengaruhi system yang berlaku di dunia untuk mencapai kepentingannya, Perang Dingin berakhir pada tahun 1989-1990 ditandai dengan runtuhnya Tembok Berlin pada 9 November 1989 dan menyatunya Jerman Barat dan Jerman Timur pada 3 Oktober 1990. Melihat kedigdayaan Amerika Serikat saat itu, pantaslah jika Amerika Serikat dikatakan sebagai negara hegemoni atau negara yang dapat mendisiplinkan negara lain sekehendak negara hegemon tersebut. Hegemoni Amerika Serikat mencengkeram pada berbagai bidang, seperti ekonomi, budaya, politik luar negeri, dan militer. Kaitannya dalam bidang ekonomi, perekonomian Amerika Serikat yang sangat maju dan berkembang pesat telah mampu meninggalkan negara-negara lain yang sebelumnya menjadi pesaing AS dalam ekonomi, seperti Inggris, Jerman dan Jepang. Selain itu munculnya Amerika sebagai pemenang dalam perang dingin dan runtuhnya Uni Soviet, telah membawa Amerika kepada ambisi besar menjadi pemimpin tunggal yang menguasai dunia, sikap Amerika terhadap dunia makin terlihat tegas dan keras. Jika sebelumnya Amerika sangat menjaga sikap terhadap negara non blok, dengan alasan non blok tidak akan berpihak kepada blok komunis, tapi setelah kemenangannya sikap menjaga sikap ini tidak lagi terlihat. Kekuatan hegemoni Amerika Serikat muncul jauh lebih unggul karena kondisi perekonomian pasca perang yang cenderung lebih stabil. Dalam kondisi tersebut Amerika Serikat perlahan menempati posisi pemimpin dunia yang hampir tidak tersaingi. Mayoritas politisi Amerika bahkan mengakui bahwa Amerika Serikat harus mengambil tanggung jawab dalam menciptakan perekonomian pasar dunia yang liberal, dimana ketika itu Inggris yang sebelumnya dengan mata uang poundsterling  mampu mengatur perekonomian dunia mulai kehilangan posisi hegemonnya di akhir abad kesembilanbelas akibat persoalan keuangan dalam negerinya pasca Perang Dunia Pertama, sementara perekonomian Jerman dan Jepang pun sama lemahnya pasca perang. Keadaan ini menyebabkan fokus utama Amerika Serikat sebagai ‘hegemon’ pada waktu itu adalah menata kembali sektor perekonomian terutama persoalan keuangan internasional (moneter) dan perdagangan.
Langkah awal Amerika Serikat dalam mengatur perekonomian dunia dimulai dengan diadakannya pertemuan antara 44 negara di Desa Bretton Woods, New Hampshire, Amerika Serikat (AS), tepatnya pada 1-22 Juni 1944 yang secara keseluruhan menghasilkan apa yang dikenal dengan “Bretton Woods System”, dimana menetapkan sistem moneter baru dalam perekonomian internasional dengan berdasar pada sistem nilai tukar tetap (fixed-exchange rated system) terhadap dolar AS yang dikaitkan dengan emas, di mana setiap 1 ons emas ditetapkan harganya kira-kira sebesar USD28.35. Adanya fixed-exchanged rate system ini menggeser posisi poundsterling dan menjadikan dollar sebagai patokan mata uang dalam perdagangan internasional. Selain itu “Bretton Woods System” juga membentuk sejumlah rezim perekonomian internasional seperti International Monetary Fund (IMF) yang mengusahakan pengaturan nilai tukar dan ketidakseimbangan pembayaran antar negara dan International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) yang kemudian lebih dikenal sebagai World Bank. World Bank, bertujuan untuk memberikan suplemen-suplemen untuk investasi dalam skala internasional bagi negara-negara dalam sistem dunia internasional. Selain itu Amerika Serikat juga berusaha mefasilitasi adanya free market dengan mendirikan General  Aggrement on Tarrifs and Trade (GATT), yang merupakan suatu forum untuk membicarakan tentang usaha-usaha reduksi tarif dan usaha penghapusan halangan-halangan dalam perdagangan internasional. GATT di kemudian hari berubah menjadi World Trade Organization (WTO). Awalnya, kehadiran institusi-institusi perekonomian tersebut ditujukan untuk membantu restrukturisasi ekonomi negara-negara Eropa yang secara ekonomi carut marut akibat perang. Namun kemudian tujuan tersebut dalam penerapannya semakin bergeser ke arah perluasan hegemoni Amerika Serikat. Hal ini dibuktikan dengan dilakukannya sejumlah usaha lain Amerika Serikat dalam mengontrol komoditas penting perekonomian dunia, misalnya minyak. Dari hal diatas sebenarnya hampir semua rezim internasional dikuasai oleh Amerika, melalui organisasi – organisasi besar yang sangat berpengaruh terhadap dunia Amerika dalam melancarkan hegemoninya. 
IMF, World Bank dan WTO hanya sebagian kecil contoh campur tangan dan intervensi Amerika Serikat dalam organisasi-organisasi besar internasional  yang tidak lebih hanya mejadi motor penggerak dan perangkat hegemoni kepentingan negara-negara  maju khususnya Amerika. Lihat saja IMF  yang merupakan organisasi keuangan moneter internasional dengan wajah penyelamat negara yang sedang krisis dengan memberikan pinjaman luar negeri, tetapi kenyataannya merupakan sebuah mesin pembangkrutan negeri penerima hutang, dengan mekanisme menjadikan negara penghutang bangkrut dan tidak sanggup membayar ketika telah jatuh tempo tanggal pembayaran, dan selanjutnya IMF akan menjadi pengendali terhadap negara pengutang tersebut dan akan ditekan atau bisa jadi diancam untuk mengikuti keinginan Amerika, seperti mendukung Amerika dalam voting pemilihan dewan keamanan di PBB, dipaksa menyediakan lokasi untuk pangkalan militer, dan kebijakan – kebijakan dalam negeri negara penghutang harus mengikuti alur yang telah dibuat oleh IMF baik kebijakan politik, ataupun non politik, mekanisme ini bisa kita sebut dengan sebuah Imperium Amerika di era modern saat ini. Imperium artinya dominasi oleh sebuah negara terhadap negara lain dan melancarkan aksi – aksinya meliputi pengeksploitasian sumber daya dari negara yang didominasi, memiliki strategi untuk meningkatkan kekuatan militernya apabila cara – cara non kekerasan gagal dalam melaksanakan sebuah aksi, menyebarkan semua aspek kebudayaan baik itu bahasa, pola pikir, dan seni  kepada negara yang di dominasi, mendorong penggunaan mata uangnya dinegara yang didominasi, dan hal-hal lainnya yang terutama berkenaan dengan upaya mendukung pencapaian hegemoni di sektor ekonomi. Semua dari point – point imperium tersebut telah mewakilkan keadaan hegemoni Amerika setelah perang dingin, dengan berbagai cara Amerika melancarkan aksi nya ke seluruh dunia, khususnya terhadap negara dunia ketiga yang tengah mengalami transisi pembangunan, dengan bujuk rayu dan diplomasi yang demikian rupa berusaha membujuk negara tersebut untuk masuk kedalam alur yang telah disiapkan oleh Amerika dan tidak terkecuali pula dengan negara kita sendiri. Hubungan Indonesia dan Amerika merupakan hal yang penting, seperti dalam kerjasama ekonomi, selain itu Indonesia melihat pentingnya kehadiran Amerika Serikat di Asia Tenggara dalam menjaga keseimbanga dan stabilitas kawasan Asia tenggara. Sebelum perang dingin berakhir, hubungan Indonesia dengan Amerika berjalan dengan lancar dan romantis. Bahkan sebelum merdeka Indonesia memiliki pandangan yang positif  kepada Amerika karena Indonesia menganggap, Amerika berbeda dengan penjajah di Indonesia. Tetapi hal ini berbeda setelah kemenangan Amerika dalam perang dingin yang juga  mempengaruhi hubungannya dengan Indonesia, Amerika tidak mengingkan kemajuan di negara Indonesia karena Amerika melihat potensi besar di Indonesia yang bisa di olah. Potensi tersebut terutama bertumpu pada sektor Sumber Daya Manusia, Sumber Daya Alam, dan posisi geografis yang sangat strategis dalam jalur pelayaran dan perdagangan dunia.
Hubungan dengan Amerika mengalami pasang surut sesuai dengan siapa yang memimpin Indonesia, seperti masa Soeharto terkesan tidak menyukai Amerika, tapi lobi – lobi yang dilakukan oleh Amerika telah membuat Indonesia tetap melakukan kerjasama dengan Amerika, berbeda dengan pemerintahan Soekarno hubungan ini mulai membaik, karena Soekarno ingin memperbaiki keadaan perekonomian sebelumnya dengan menerapkan corak kapitalisme, pembangunan infrastruktur banyak dimodali oleh IMF, tapi pada kenyataannya pembangunan yang tidak merata serta peluang besar untuk melakukan KKN, telah membuat pemerintah orde lama melakukan utang luar negeri besar – besaran terhadap IMF. Tetapi sebenarnya jika kita coba telisik kembali ke imperium tadi maka tujuan dari bantuan IMF bukanlah murni sekedar bantuan tapi malah akan memporoti Indonesia. Lihat saja  periode tahun 1990-an semakin jelas di rasakan kalau semua kebijakan  Amerika tidak menyukai perkembangan Indonesia dan berusaha mempengaruhi terjadinya perubahan sesuai dengan kepentingan negaranya. System korporatokrasi ( jaringan yang bertujuan memetik laba melalui cara korupsi, kolusi, nepotisme, dari Negara dunia berkembang ) yang dipakai Amerika bisa jadi telah mengantarkan Indonesia kepada krisis tahun 1997, IMF yang dikendalikan oleh Amerika tidak membantu menyelesaikan masalah tapi hanya mempersulit keadaan Indonesia. IMF merekomendasikan agar Soeharto menghentikan subsidi minyak dan makanan yang jelas – jelas akan tidak berimbang dan hanya berpihak kaum kaya saja, dan hal ini akan meningkatkan kelaparan, penyakit dan permusuhan dalam masyarakat Indonesia.  Akibatnya terjadi kegagalan ekonomi tahun 1998, dan  Indonesia tidak hanya diliputi krisis ekonomi, tetapi juga krisis politik. Dari sini terbuka peluang yang lebar bagi AS untuk mewujudkan kehendaknya, yaitu mempengaruhi perkembangan di Indonesia sesuai dengan kepentingannya. Dari hal diatas dapat dilihat begitu banyak ketergantungan Indonesia kepada Amerika, baik dalam bidang  politik, pertahanan serta terutama sektor ekonomi dan pembangunan, yang masih ada sampai sekarang. Kemudian apabila kita coba telisik kembali keberadaan hegemoni ekonomi Amerika di Indonesia sekarang, apakah masih ada? Maka dapat kita simpulkan bahwa keberadaan hegemoni Amerika memang masih cukup kuat dirasakan Indonesia, walaupun  tidak sejelas yang dulu, keberadaannya kita rasakan dengan pengaruh kebijakan – kebijakan yang ia buat baik di negerinya ataupun hubungan bilateralnya, dan juga efek dari perjanjian pemerintah terdahulu seperti contohnya pengaruh keberadaan WTO di Indonesia dan implementasi kebijakannya, serta kita juga masih terikat dengan hutang – hutang luar negeri semasa pemerintahan sebelumnya dan keterikatan kontrak dengan perusahaan – perusahaan besar dengan perusahaan Amerika, tetapi walaupun demikian hegemoni Amerika sekarang dirasa sedikit mengalami pergeseran dengan munculnya sistem multipolar di dunia seperti kehadiran China di Indonesia. China sebagaimana kita ketahui merupakan negara yang dikenal kuat dalam bidang industri, perdagangan, dan keuangan, dan Indonesia menjalin hubungan baik dengan China, peningkatan perjanjian di bidang pengembangan ekonomi, budaya serta pendidikaan telah dilakukan Indonesia. Jadi secara ringkas dapat kita implementasikan bahwa hegemoni ekonomi Amerika masih tetap ada di Indonesia tetapi telah diimbangi dengan kekuatan – kekuatan baru yang muncul dalam dunia internasional. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu hal terpenting dalam hubungan antar negara adalah kerja sama ekonomi , Amerika dan China merupakan dua  kekuatan yang membuat Indonesia bingung, mau dibawa kemana negara ini, Amerika dengan kekuatan dan hubungan terdahulu dengan  Indonesia atau kekuatan baru China? Dalam hal Indonesia harus secara  bijaksana siap dan antisipasi terhadap kekuatan yang ada supaya tidak menjadi bulan – bulanan negara yang lebih memiliki kemampuan dibanding Indonesia. Ditambah lagi dengan kunjungan presiden Amerika ke Indonesia menuntut Indonesia untuk menentukan sikapnya, walaupun banyak pengamat yang mengatakan ini merupakan hal yang baik, tapi kita juga harus berpikir apakah kunjungan ini hanya sekedar membicarakan kerjasama Internasional atau apakah semakin memperkukuh hegemoninya untuk menghadapi kekuatan China di Indonesia?
            Terlepas dari apa yang dipaparkan diatas, sejatinya penguasaan Amerika di sektor ekonomi dunia bermula dari kejayaan sistem ekonomi kapitalisme Amerika yang menumbangkan sistem ekonomi sosialis yang digawangi Uni Soviet/Rusia sekarang ini. Sistem ekonomi kapitalis menitikberatkan pada modal, artinya, di dunia ini modallah yang memiliki peran penting dalam maju tidaknya perekonomian suatu negara. Sistem ekonomi kapitalis juga cenderung tidak memihak kaum yang lemah. Dan disadari atau tidak sistem ekonomi Amerika Serikat yang bermahzab kapitalis menyeret satu per satu negara di dunia untuk memiliki poros yang sama. Salah satu hal yang paling mencolok adalah Amerika Serikat yang berperan sebagai pendonor ekonomi dunia. Lihat saja, negara manapun yang mengalami masalah keuangan di negaranya akan “dibantu” oleh Amerika Serikat, termasuk Indonesia. Implikasinya, negara yang dibantu tersebut akan memiliki ketergantungan yang tinggi serta hutang budi kepada negara pendonor. Dan secara tidak langsung, efek tersebut membuat negara yang dibantu mengikuti aliran negara pendonor yang dalam hal ini adalah negara Amerika Serikat. Namun, jika ditelisik lebih jelas kemajuan ekonomi Amerika Serikat sehingga dijuluki sebagai negara adidaya di bidang ekonomi ditemukan beberapa faktor yang sangat mempengaruhinya, diantaranya dapat kita ringkas sebagai berikut:
1)      Bidang agraris dengan lahan pertanian dan peternakan sangat luas
2)      Kaya akan barang tambang didalam perut bumi
3)      Sumber Daya Manusia memadai karena menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi
4)      Etos kerja masyarakatnya yang dinilai cukup tinggi
5)      Tingginya partisipasi masyarakat dalam pembangunan
6)      Pemimpinnya bertanggung jawab penuh dalam hal kesejahteraan masyarakat
Selain dari faktor tersebut, tidak dapat kita pungkiri pula bahwa Amerika Serikat memiliki pertahanan ekonomi yang kuat. Dengan sistem ekonomi yang dimiliki sekarang Amerika Serikat menjelma sebagai “singa” dunia yang tak mungkin bisa mati. Namun, apa yang terjadi? Bagai sebuah anomaly, pada 2008 Amerika Serikat ternyata mengalami collapse di bidang ekonomi. Amerika Serikat yang katanya negara super power itu mengalami krisis di bidang ekonomi. Memang tak bisa dipercaya namun itulah kenyataannya. Diawali dari kebijakan presiden Bush yang waktu itu masih berkuasa, yang tanpa pikir panjang menghabiskan APBN negara untuk membombardir Irak dan Afganistan habis-habisan. Akibatnya APBN semakin menggelembung. Dalam waktu yang bersamaan ternyata perdagangan luar negeri mengalami defisit. Kedua kondisi tersebut diperparah dengan kehancuran di sektor perumahan/bisnis properti, pasar modal, dan lembaga keuangan. Bagai efek domino yang bereaksi cepat, kegagalan-kegagalan di berbagai bidang tersebut menjalar keseluruh bidang kehidupan di Amerika Serikat. Pada akhirnya Amerika Serikat mengalami krisis global yang melumpuhkan segala aspek kehidupan. Pengangguran meningkat memperparah keadaan ekonomi di Amerika yang secara otomatis akan menurunkan daya beli masyarakat Amerika, kriminalitas bagai tak berujung, anak-anak terlantar, dan yang paling menyedihkan negara-negara lain yang ada di dunia ikut pula terimbas dampaknya sehingga negara-negara yang terkena imbasnya turut membantu Amerika untuk pemulihan ekonominya. Hal ini dapat dilihat dari Pertemuan G-20 yang berupaya mencari solusi atas krisis ekonomi ini, awalnya permasalahan sebesar ini hanya dilakukan sebatas pada G-8 yang terdiri dari negara-negara maju. Namun, ketidakmampuan Amerika mengatasi masalah ini sendirian atau hanya dengan negara-negara maju membuat Amerika dan negara maju lainnya perlu melibatkan negara-negara lain yang berkembang dan juga berpengaruh guna berunding mencari solusi. Hingga sekarang ini perekonomian Amerika masih dipandang menjadi acuan bagi perekonomian dunia. Dari fakta tersebut kiranya dapat menjadi bukti bahwa hegemoni Amerika Serikat sangatlah kuat disektor ekonomi, tidak hanya memiliki pengaruh dalam kondisi yang kondusif namun dalam kondisi terpuruk pun seperti krisis dan resesi juga memiliki dampak yang cukup berat dirasakan oleh negara-negara di dunia. Lain dari itu bukti-bukti betapa besarnya kekuatan pengaruh dan posisi tawar Amerika Serikat bagi negara-negara lain dapat secara mudah kita gambarkan, lihat saja negara kita Indonesia, keberadaan PT.Freeport sebagai simbol kedigdayaan ekonomi Amerika di Indonesia adalah bukti riil yang tidak dapat kita pungkiri. Sebagai kilas balik yang akan mempertegas eksistensi Amerika di Indonesia dapat kita paparkan bahwa periode yang lalu kita disontakan oleh gelombang unjuk rasa yang menuntut penutupan kegiatan eksplorasi PT. Freeport Indonesia di Timika maupun di Jayapura, Papua. Gelombang unjuk rasa yang telah memakan korban dan materi agaknya berlalu begitu saja tanpa ada respon yang berarti dari pemerintah atas tuntutan tersebut. Meski tuntutan penutupan PT. Freeport Indonesia ini telah meluas layaknya sebagai tuntutan sebagian besar bangsa Indonesia, pemerintah nyatanya pemerintah tak bergeming sedikitpun. Dalam reaksinya pemerintah hanya mengatakan bahwa penutupan PT.Freeport adalah sebuah keputusan yang sangat tidak mungkin untuk dilakukan karena akan berdampak pada iklim investasi di Indonesia secara keseluruhan, namun apa hanya itukah yang semata-mata memberatkan pemerintah untuk menutup PT. Freeport Indonesia? ataukah ada hal lain yang lebih krusial dimata pemerintah, dalih apapun yang sampaikan oleh pemerintah agaknya tidak akan mengubah stempel masyarakat bahwa pemerintah kita tak lebih sebagai komparador kapitalisme asing. 
         
Reaksi pemerintah tersebut jelas sangat mengecewakan bangsa Indonesia terlebih lagi rakyat Papua sebagai komunitas yang rasanya akan semakin larut dalam keprihatinan nasibnya. Sebagai penghuni atas tanah yang anugerahi dengan kekayaan yang melimpah senyatanya tidak menjamin bagi mereka untuk hidup dalam sebuah kemapanan dan kesejateraan hidup – hingga akhirnya, kebodohan dan kemelaratan adalah potret dari keberadaan rakyat Papua selama tiga dasawarsa terakhir. Sebuah ironi memang ketika melihat kebesaran PT.Freeport Indonesia dengan garapan yang bermilyar-milyar dollar berdiri dengan gagahnya sebagai lambang kemapaman sebuah industri ditengah kemiskinan dan kemelaratan penduduk asli disekitarnya. PT. Freeport sejak awal berdirinya sudah melahirkan kontroversi, eksplorasinya dimulai pada bulan desember 1967 dimana sebelumya ditandatanganinya kontrak karya pertama oleh pihak Freeport McMoran dan pemerintah Indonesia tahun 1967, penandatanganan ini dilakukan tiga bulan setelah ditetapkannya UU No 1 Tahun 1967 tentang penanaman modal asing yang mana ketika itu Papua(Irian Barat) sendiri masih dalam status perwalian PBB (UNTEA) dimana referendum penentuan pendapat rakyat (PEPERA) baru dilakukan tahun 1969, sebuah kolusi tingkat tinggi yang melibatkan Amerika Serikat, Perserikatan Bangsa Bangsa maupun Pemerintah Indonesia sendiri. Aroma yang menjadikan Papua menjadi komoditas politik - ekonomi sebenarnya sudah tercium saat New York Agreement 1962, Amerika Serikat yang ketika itu sudah menjalin konspirasi dengan petinggi angkatan darat melakukan deal terselubung, deal tersebut berisi tentang kesediaan pemerintah Amerika Serikat melalui PBB untuk mendorong Papua menjadi bagian dari wilayah NKRI asalkan pemerintah NKRI memberikan hak penuh kepada pihak Barat atas pengelolaan sumberdaya alam di Papua dan wilayah lain ditanah air. Transaksi yang akhirnya menemui kata sepakat itu semakin disempurnakan dengan konspirasi menjungkalkan Soekarno yang dikenal sebagai penentang keras kapitalisme asing.
Jadi tidak mengherankan apabila mengatakan bahwa harga dari keberanian pemerintah untuk menutup PT. Freeport Indonesia adalah kemerdekaan Papua. Menilik historicalnya, jelas sudah memberikan gambaran betapa kuatnya “bargaining position” PT. Freeport dengan aktivitas pertambangannya. Dengan kuatnya posisi tersebut jelas tidak banyak menimbulkan kekawatiran bagi pihak PT. Freeport sendiri sehubungan dengan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukannya baik terhadap lingkungan, terhadap penduduk asli maupun kepada pemerintah Indonesia sendiri sebagai pemegang otoritas investasi di Indonesia. Menyinggung kuatnya raksasa pertambangan Amerika ini, secara teknis bertolak pada klausul kontrak karya pertama dari perusahaan yang menginvestasikan 70 Milliar Dollar pada 7 April 1967 tersebut. Dalam kontak karya yang disaksikan oleh Presiden Soeharto dan petinggi Freeport McMoran tersebut mengkomposisikan sahamnya sebesar 81,28 untuk Freeport McMoran Cooper & Gold Inc, 9,36% bagi pemerintah Indonesia dan 9,36% bagi Indocooper Investama (anak perusahaan Bob Hasan), lebih lanjut dalam klausul kontraknya tesebut dikatakan bahwa PT. Freeport Indonesia dalam eksplorasinya tidak tunduk pada hukum yang berlaku di Indonesia namun perusahaan ini hanya akan tunduk pada hukum yang berlaku di Amerika Serikat dan tepatnya lagi di wilayah hukum negara bagian Delaware, Amerika Serikat. Lebih tragisnya, klausul kontrak tersebut juga tidak mencantumkan kewajiban bagi PT. Freeport untuk melaksanakan beberapa penting hal seperti pengelolaan dan pemeliharaan lingkungan hidup yang sesuai standard internasional; tidak ada kewajiban untuk menghitung dan mengenakan nilai harga atas mineral yang seharusnya menjadi aset penduduk lokal; tidak ada kewajiban membayar royalti; tidak ada kewajiban untuk membayar pajak lingkungan; tidak ada ketentuan mine closure; tidak ada kewajiban untuk bekerja sama dengan penduduk lokal. Kontrak tersebut baru mengalami sedikit perbaikan pada tahun 1991 atau pada kontrak karya ke-II dengan yang menyangkut tentang tentang kewajiban PT. Freeport untuk membayar pajak bumi dan dan bangunan(PBB), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), begitu pula sejak tahun 1996 diatur pula kewajiban PT. Freeport untuk memberikan dana pengembangan masyarakat (Community Development) untuk tujuh suku sekitar sebesar 1% dari total penghasilan PT.Freeport selama satu tahun atau yang jumlahnya sekitar $ 62 juta dan ditambah lagi dengan dana perwalian bagi dua suku asli setempat (Kamoro dan Amugme) yang pada tahun 2006 lalu memperoleh dana sebesar $ 1 Juta. Sebuah perimbangan yang mungkin jauh dari kata adil (berimbang), namun jika ditilik kembali itulah cerminan posisi tawar kita yang sedari awal sudah menempatkan kita dalam posisi yang lemah tak bertaji.
Kegalauan akan sebuah ketertindasan ekonomi kita oleh elemen asing sebenarnya bukanlah hal yang mengejutkan, ”Founding Father” kita jauh sebelumnya sudah mengingatkan akan sebuah metamorfosa imperialisme, dua dasawarsa sebelum kemerdekaan beliau telah memprediksi bahwa kelak imperialisme yang ada saat itu tidak akan sirna, namun justru semakin berkembang dengan wajah yang lebih modern. Imperialisme yang berwatak kapitalistik tersebut ber-metamorfosa secara institusi sebagaimana yang ditunjukan kini dengan keberadaan lembaga-lembaga dunia seperti PBB, IMF, Bank Dunia maupun perusahaan – perusahaan Multi National Coorporation (MNC) & Transnational Coorporation (TNC), menurut Bung Karno neo-imperialsime ini bergerak bukan lagi pada tataran memerintah (overheersen)(beheersen) seluruh aspek kehidupan. Dalam upaya hegemoninya, lembaga-lembaga tersebut menginfiltrasi pengaruhnya secara halus dengan kemasan arif dan menawan seperti rekomendasi kebijakan (kerangka pikir Governance), pinjaman modal dan bahkan hibah yang siap membasahi segala bidang. Kokohnya PT. Freeport Indonesia di ufuk timur ini sekaligus menandai akan ke-kokohan dari sebuah parade neo-imperialisme pertambangan di Indonesia, lihatlah bagaimana perusahaan pertambangan asing merajai dengan kokohnya industri pertambangan di Indonesia, berikut dengan geliat aktivitas ‘pengerukan kekayaan alam’ kita yang kian tak mampu terkontrol efektif oleh pemerintah kita, low control membuat gerak eksploitasi SDA kita bergeser menjadi sebuah penjarahan sistemik; Emas-emas kita, minyak-minyak kita, gas bumi-gas bumi kita, namun begitu saja dikeruk dan menjadi milik asing, sedang pada jadwalnya kita hanya bisa melihat seraya menadahkan tangan atas kerelaan hati mereka untuk memberi persenan royalti dari hasil eksploitasi sumber daya alam kita oleh mereka. Fakta sudah berkata, kegalauan hati Bung Karno pada beberapa dekade yang lalu atas neo-imperialisme ini jelas sudah melanda negeri ini, merangsek dan menjadi bagian dari dinamika kehidupan yang memiskinkan bangsa kita, kondisi yang benar-benar memprihatinkan, kondisi yang mengibaratkan ayam mati di lumbung padi rakyat kita pun miskin di tanah yang kaya. sebagai mana yang ditunjukan pada zaman kolonial, melainkan kini semakin lebih meng-hegemonik lagi dengan menguasai
Apa yang dialami Indonesia atas penguasaan Amerika di bidang Ekonomi hanya merupakan contoh kecil dari penguasaan dan pengaruh kekuatan Amerika Serikat di negara-negara lain di dunia, hal ini sebagai bukti riil negara tersebut telah mampu menancapkan kuku-kuku imperialisme modernnya di berbagai sektor dan sisi. Liberalisme, kapitalisme, dan perdagangan bebas sejatinya hanya menjadi alat dan motor penggerak dalam wewujudkan cita-cita negara itu menjadi negara super power, negara adikuasa, dan negara yang mampu menghegemoni kekuasaannya terhadap negara lain di berbagai bidang terutama bidang ekonomi. Sehingga tidak dapat kita sangsikan lagi bahwa rezim internasional pun juga dapat dengan mudahnya diatur dan dikendalikan dibawah naungan Amerika Serikat. Selain itu kiranya perlu kita ketahui pula bahwa hegemoni janganlah dilihat hanya dari satu sisi saja, yakni hegemoni identik dengan penguasaan yang bersifat negatif dan memiliki dampak yang buruk/negatif pula. Namun, lihat pula sisi lain dari adanya hegemoni ini. Kiranya ini mungkin akan memicu perdebatan dan menuai kontroversial di kalangan masyarakat umum, tetapi sejatinya peran penting negara hegemon yang dengan kapabilitasnya (meliputi ekonomi, politik, militer, dsb.) telah mampu memberikan “koersi” maupun “incentives” pada aktor lainnya dalam rezim untuk bertindak sesuai dengan apa yang telah ditetapkan dalam rezim tersebut sehingga pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kestabilan sistem internasional secara keseluruhan. keberadaan negara dominan yang dalam permasalahan tertentu memberikan perhatian dalam menentukan kapan dan mengapa rezim internasional perlu dibentuk dan secara efektif mampu memaksa negara lain untuk mematuhi kebijakan kerjasama yang ada dengan asumsi bahwa tanpa adanya rezim tersebut maka tujuan yang diinginkan bersama tidak akan mungkin tercapai. Untuk itulah peran negara hegemon dapat menjadi jembatan bagi tercapainya kerjasama antar bangsa-bangsa di dunia guna memenuhi kebutuhan dan kepentingan nasional masing-masing negara.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar